Kita Yang Pegang Kendali

TIDAK HARUS JADI 
Kita Yang Pegang Kendali


Sebidang tanah memanjang ditepi jalan menarik hasrat saya. Sungguh menggoda. Sisi yang berhimpit jalan ada kisaran 40 m dengan kedalaman hampir 25 m. Terbayang minimal 10 unit ruko bisa dibangun.

Lokasinya ramai. Dekat dengan sekolahan dan terminal bus. Dan tentu saja ditengah pemukiman yang padat.

Ada spanduk dan board sebuah agen properti. Saat saya kontak, saya dapat info harganya Rp 1,2 juta/m2. Menurut estimasi saya, seharusnya harga normal kisaran Rp 1 juta/m2.

Saya minta pada broker agar diatur waktu ketemu pemilik, supaya saya bisa melakukan nego.

OPSI A
Ingat prinsip # 1 yang saya yakini;
Boleh beli cash asal harganya jauh dibawah pasar, yaitu 50 - 60%. Berani menawar cash menunjukkan kita bonafid.
Maka saya ajukan penawaran Rp 600rb/m2.
OPSI B
Ingat prinsip # 2 yang saya yakini;
Boleh bayar pakai DP max 20%, asal sisanya dibayar panjang. Pakai asumsi penjualan yang konservatif atau pesimis. Pelunasan dilakukan di bulan terakhir estimasi umur proyek kita.
Maka saya ajukan penawaran Rp 1 juta/m2. Dengan DP 20% sisa dilunasi di bulan ke 12 sejak siteplan disahkan dan IMB terbit.
Catatan; timer dihitung sejak siteplan dan IMB terbit, bukan sejak DP dibayar.

OPSI C
Ingat prinsip # 3 yang saya yakini;
Bayar sesuai luas kavling terjual. Tanpa DP. Tapi mesti rela membagikan potensi laba kisaran 10 s/d 35%. Hot deal istilah kita.

Pemilik yang didampingi broker menjawab; "Maaf saya hanya bersedia dibayar tunai keras. Skim lain tidak bisa ... Saya turunkan harga menjadi Rp 1,1 juta/m2."

Saya menolak. Gagal deal.

Besoknya broker menelpon;
Pak AW, pemilik bersedia menurunkan harga menjadi Rp 1 juta/m2.
Saya menolak.

Lusanya broker menelpon lagi;
Kabar bagus pak AW, pemilik bersedia turun lagi menjadi Rp 900.000/m2.

Saya menolak. Broker komplain;
Pak AW ini serius atau tidak menawar lahan? Pemilik tanah sudah turun harga sampai 3x, bapak tidak mau menaikkan harga penawarannya.

Kalau mau harga bagus, pilih opsi B atau C saja, jawab saya.

Harusnya bapak naik dong penawarannya, supaya bisa jadi. Ketemu di tengah tengah, broker mengusulkan.

Tidak harus jadi pak. Saya menunggu di angka Rp 600.000/m2, jawab saya santai.

Brokernya sebel dan mengomel; Dasar tidak bonafid, kata dia.

Biarin. Emang gue pikirin? Hehe ...
Tak ada aturannya semua transaksi harus jadi. Kita mesti pegang kendali. Tidak harus jadi koq.

Populer

Efisiensi Biaya Cut and Fill

Budget Pembuatan Kolam Renang

Merintis Bisnis Properti Sebagai Pengembang

Melakukan Probing dalam Penjualan Properti

Menerapkan Ilmu Marketing Perumahan

Mitra Pemilik Tanah

4 Tahapan Siklus Hidup Produk

Berbagi Urusan Ijin

Buatlah PT Kosong

Memanfaatkan Momentum Lebaran